Senin, 08 November 2010

TEKNIK PENGENDALIAN LEDAKAN POPULASI PUTRI MALU RAKSASA (Mimosa pigra L.)

Picture Source: Invasive Plant Atlas of the Mid South

      Dari segi ekologi, ledakan populasi (outbreaks) adalah pertumbuhan populasi dengan laju yang sangat tinggi dari suatu populasi makhluk hidup pada suatu selang waktu yang relatif pendek. Ledakan populasi dengan demikian merupakan akibat dari fluktuasi kerapatan populasi sepanjang suatu waktu (Tarumingkeng, 1994).
      Putri malu raksasa (Mimosa pigra L.) adalah tumbuhan asli dari Amerika Selatan yang menyukai daerah tropika dengan kelembaban tinggi. Ledakan populasi Mimosa pigra L ini akan membawa kerugian secara ekonomi, ekologi dan tingkat keragaman jenis (biodiversitas) area yang ditumbuhi (Bapedalda, 2004). Sehingga diperlukan teknik pengendalian ledakan populasi yang tepat terhadap spesies ini.
Ledakan populasi adalah peningkatan fluktuasi populasi dalam keadaan yang jauh menyimpang dari keadaan keseimbangan dan akan menurun kembali setelah beberapa waktu. Ledakan populasi dicirikan oleh pertambahan kepadatan populasi yang berlangsung secara singkat dan seringkali menimbulkan terjadinya masalah ekologis maupun ekonomis yang serius (Kartono, 2007). 
Ledakan populasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu introduksi spesies ke areal baru dan pertumbuhan populasi spesies asli, yang disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1.      Tidak ada musuh alami
2.      Ukuran kelompok tinggi
3.      Kondisi lingkungan fisik dan biologis yang mendukung
4.      Potensi reproduksi yang tinggi
 Putri malu raksasa (Mimosa pigra L.) adalah tumbuhan asli dari Amerika Selatan yang menyukai daerah tropika dengan kelembaban tinggi. Mimosa pigra adalah anggota dari keluarga Fabaceae, satu dari keluarga kelompok tumbuhan polong-polongan ((Leguminaceae).Tumbuhan ini adalah jenis semak berkayu dengan pertumbuhan yang relatif cepat dengan membentuk populasi padat menutupi area yang ditempati, sehingga area yang sudah terinvasi putri malu raksasa tidak bisa lagi atau sulit dijangkau manusia, hewan dan jenis tumbuhan lainnya. Kerimbunan tumbuhan ini juga bisa menghambat pengairan dan mengancam keanekaragaman hayati daerah yang terinvansi. Ledakan populasi Mimosa pigra L ini akan membawa kerugian secara ekonomi, ekologi dan tingkat keragaman jenis (biodiversitas) area yang ditumbuhi.
      Mimosa pigra L telah menyebar ke berbagai negara di dunia yang pada mulanya dibawa sebagai tumbuhan hias ataupun penutup tanah di beberapa lokasi, namun sekarang telah menjadi gulma yang sangat merugikan. Kapan masuknya gulma ini ke Papua khususnya Merauke tidak diketahui secara pasti, namun tumbuhan ini telah menginvasi areal di Northern Territory-Australia bagian utara yang tidak jauh dari Merauke  sejak awal 1800 dan populasinya meningkat secara drastis pada tahun 1990-an. 

     Pengendalian hayati pada dasarnya adalah usaha untuk memanfaatkan dan menggunakan musuh alami sebagai pengendali populasi hama yang merugikan.Pengendalian hayati dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi, terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem.  Musuh alami dalam fungsinya sebagai pengendali hama bekerja secara tergantung kepadatan, sehingga keefektifannya ditentukan pula oleh kehidupan dan perkembangan hama yang bersangkutan.  Ketersediaan lingkungan yang cocok bagi perkembangan musuh alami merupakan prasarat akan keberhasilan pengendalian hayati (Subagiya, 2000). 
     Dalam sejarah pengendalian putri malu raksasa di berbagai negara, berbagai metode telah diimpletasikan dengan keberhasilan yang bervariasi. Beberapa percobaan menunjukan bahwa masing-masing metoda mempunyai keterbatasan. Berikut ini beberapa cara pengendalian  yang banyak digunakan, baik secara sendiri-sendiri maupun kombinasi dari beberapa atau keseluruhan cara:
1. Secara mekanik (Mechanical)
    Pengendalian secara mekanik pada area luas dan populasi gulma yang padat biasanya menggunakan bulldozers dan mesin pemotong. Cara ini memiliki keterbatasan karena umumnya sulit memasuki area yang yang padat dengan putri malu raksasa yang juga sering tergenang air. Keterbatasan cara ini juga karena upaya pemusnahan secara mekanik jarang dapat membunuh populasi gulma ini. Tumbuhan muda (regenerasi) akan terjadi kembali, baik dari biji yang tersimpan dalam tanah maupun kuncup dari potongan batang/akar yang tertinggal. Risiko lain adalah terkontaminasinya alat-alat yang digunakan dengan biji dari gulma ini, yang kemungkinan bisa terbawa ke lokasi lain dan menyebarkan tumbuhan putri malu raksasa di lokasi baru.
2.  Menggunakan api/membakar populasi gulma (Burning)
    Keberhasilan pengendalian dengan membakar populasi gulma ini juga sangat kecil. Beberapa faktor penyebab kecilnya keberhasilan adalah karena sulit membakar tumbuhan putri malu hingga benar-benar mati. Sangat sering terjadi tumbuhan tumbuh kembali yang berasal dari tunas-tunas baru sisa tumbuhan dan juga biji-biji pada tanah. Panas api justru dapat memecahkan masa dormansi biji gulma yang ada di dalam tanah sehingga mampu melakukan proses perkecambahan. Pengendalian gulma dengan cara membakar selain efektifitasnya rendah juga berisiko dan dapat berdampak negatif terhadap lingkungan. Pemilihan waktu/musim, kondisi angin dan pengawasan pelaksanaaan harus benar-benar diperhitungkan. 
3. Menggunakan senyawa kimia (Chemical )
      Penggunaan herbisida dalam pengendalian putri malu raksasa pada area yang luas membutuhkan biaya yang cukup mahal, selain itu tidak mampu benar-benar membunuh populasi gulma ini. Penyemprotan herbisida tidak akan merusak biji pada tanah, dan sebagian tumbuhan yang terkena herbisida juga bisa pulih kembali (recovery). Seperti halnya pengendalian gulma dengan membakar, penggunaan herbisida harus benar-benar memperhatikan aspek-aspek yang akan timbul tehadap lingkungan. Penentuan waktu penyemprotan, pemilihan jenis herbisida dan teknik yang aman dan benar harus benar-benar diperhatikan. 
4. Pengendalian dengan menggunakan agen biologi (Biological control)   
    Banyak negara termasuk Indonesia percaya bahwa penggunaan organisme (biokontrol) dalam mengendalikan putri malu raksasa memperlihatkan hasil yang menjanjikan jika dibandingkan dengan cara lainnya baik dalam hal biaya maupun efektifitas. Penggunaan kontrol biologi terhadap Mimosa pigra telah banyak digunakan di Australia, baik menggunakan serangga ataupun  jamur (fungi) sebagai agen biologi.
     Jadi pada kesimpulannnya bahwa pengendalian Mimosa pigra tidak dapat dilaksanakan hanya dengan satu cara. Pada kondisi lingkungan berbeda, berbeda pula cara pengendaliannya. Selain pengendalian dengan menggunakan agen biologi, seperti juga pada jenis gulma lainnya, pengendalian secara terpadu mengandung hal-hal yang bisa sebagai pedoman pengendalian Mimosa pigra. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar